Senin, 08 Juli 2013

cerpen



Bukan Tanggal Itu
       Kenapa emak tidak ada di rumah?” Aku masih saja mempertanyakan hal ini walau hari itu terlewat 3 hari. Aku mendongkrak ke atas melihat daun-daun melinjo dipinggir jalan ini.
            Hmmm, kata Dedi kemarin dia ngatain kalau aku tuh bego, tapi rasional.   Wah-wah istilah apa itu. Pas aku Tanya apa artinya dia malah ngeloyor pergi sambil berteriak, “Tanya dulu sama pak lurah!”huh,padahal aku sudah menyiapkan sederet kata-kata sulit yang akan kutanyakan pada dia. Ya…..minimalis, sekuler, terus,
Hhmm, psikologi, yang kemarin aku temukan di Koran-koran yang aku pegang. Dasar gembung anak itu.
            Aku menunggu Emak datang. Tiga hari lalu dia tidak menemuiku. Apa emak ndak punya uang untuk datang kesini. Tapi itu kan setahun sekali. Itu berarti Emak cukup untuk mengumpulkan uang selama ini. Aku pun tak pernah meminta apa-apa.
            “tanggal 17 sudah lewat…..apa sudah lupa tanggal itu?” yah, karena Emak sudah punya pengganti ayah? Aku sendiri tidak pernah lihat wajah lelaki yang telah mengubah pikiran Emak untuk tidak sendiri lagi.
            Belum saja mataku terpejam, kudengar langkah mendekat. Pasti itu Emak.
            “Emak?” panggilku girang dan bangun dengan segera.
            “Nu….aku kan sudah bilang!” tiba-tiba Pak Sus datang hari ini. Dan ini  bukan yang pertama kalinya dia memanggilku.”
            “Pak Sus ya….kirain……
            “Aku kan sudah bilang Nu, apa kamu enggak percaya pakdemu ini ?” nadanya mulai meninggi. Dan aku hanya diam menekuni tanah yang berkeriki-kerikil lembut itu. Ku garuk-garuk dengan jari kakikku.
            “Nu …. Apa aku harus membawamu dengan paksa untuk dating kerumah sakit? Aku masih saja diam. Aku selalu ingat pesan emak,”jangan percaya pada siapa pun. Ini kan kota besar.” Dan bahwa kuingkari berita kecelakaan yang menelan korban seluruh penumpang bus itu….memang pas tanggal 17. tapi kusangkal mentah-mentah karena ku tahu Emak selalu menepati janji. Tuhan pun tahu itu! Emak juga pernah bilang padaku,“Nu….jangan khawatir, pasti ibu datang setiap tanggal 17. bahkan tuhan pun tahu bahwa tanggal itu tanggal bukan untuk menepati ingkar janji.”
            “walau diambil nyawa sekaligus, tuhan pasti menjanjikan Emak mati di hari lain…..”pertama aku merinding mendengarnya. Tapi aku sudah biasa dengan ucapan dan kelakuan aneh Emak. Aneh juga mengapa harus tanggal itu ?
            “Ayo….mungkin hanya dengan cara begini aku harus membuka lebar mata kamu, Nu!”teriak pak Sus mencengkeram kuat pada lenganku dan aku sempat terjatuh, tapi memang lengan pak Sus kuat.
            “Anak bodoh!” teriaknya lalu memboncengkan aku di vespa bututnya. Aku mulai menurut. Toh aku yakin mayat itu  bukan emakku. Karena sudah berjanji….
            Aku sudah berada di rumah sakit. Aku tak tahu tepatnya kamar apa ini. Tapi kulihat pak Sus berbicara dengan petugas itu. Lalu petugas itu berjalan mendekatiku. Lalu pak Sus berjalan di belakangnya. Heh, bahkan, aku tak punya perasaan apa-apa. Takut pun tidak.

            “Ayo Nu, ikut ke kantor.”
            “Ngapain pak Sus.”
            “ndak usah cerewet!”
            Aku pun mengikuti langkah mereka yang lebar-lebar. Mirip petugas kepolisian saja, tiba-tiba jalan itu begitu lenggang. Ke mana orang-orang? Kenapa begitu sepi dan tak ada suara-suara.
            “He, bengong saja!”  
            Aku terperanjat karena tiba-tiba hentakan keras di meja itu membangunkanku. Aku sudah berada di ruangan 5 x 6 ini. Ada bapak berseragam di depanku. Aku disuruhnya duduk dan sekilas kupandang wajah pak Sus. Wajahnya selalu saja tanpa ekspresi. Bapak itu membuka stopmap dan meletakanya di meja. Terlihat beberapa kertas, KTP, dan sebuah buku rebal berukuran agak kecil, kira-kira panjangnya 15 centimeter, lebar 10 centimeter. Aku terpaku melihat buku itu. Aku selalu memimpikan buku catatan yang unik, yah seperti dalam film yang aku tonton. Dan aku selalu berkata pada Emak ingin memilikinya seandainya……..
            “Ju-mi-ya-ti! Apa benar buku kamu bernama jumiyati?” degg!! Tiba-tiba jantungku berdetak.
            “hei….benar nama itu nama Emakmu?” Tanya pak Sus mengulangi pertanyaan bapak itu. Aku mengangguk, diulurkanya KTP yang sudah kucel itu dihadapanku. Aku Cuma memandangnya tanpa kedip. Bahkan aku tak sanggup membacanya, aku, membuka hingga foto terlihat.
            “ini foto Emak,….belum tentu mayat itu mayat Emak!” ucapku lirih, tapi angkuh. Mata ini mulai sembab. Kata-kata itu tersangkut di tenggorokan.
            “antar anak ini ke kamar mayat,” perintah bapak itu kepada petugas. Dia menarikku berdiri. Aku masih saja memegang KTP itu. Tiba-tiba kuberontak lalu kutatap buku ini.
            “bawa saja buku ini, buku ini hanya di temukan dekat korban.”
            Aku langsung mengaambilnya dan kudekap buku itu. Sejurus aku langsung lari keluar kantor. Aku tahu di mana harus pergi.
            Blakk!! Pintu itu kutendang keras-keras. Petugas itu lari terengah-engah menyusulku.
            “hei…. Hah-hah-hah, jangan sembarangan anak ingusan!” aku berhenti memandangi beberapa tempat tidur yang terisi mayat yang di tutupi plastik hitam. Tapi , sudah banyak yang kosong.
            “meja yang itu, “tunjuknya di pojok. Kakikku kaku ketika kugerakkan. Tiba-tiba aku sudah berada di depan tubuh itu. Kusibak perlahan-lahan….dan hentakku pada tubuh itu. “Emakkk…..! katamu bukan tanggal itu! Jeritku sekeras mungkin.”katamu bukan tanggal itu……..katamu bukan tanggal itu…..,”teriakku berulang kali dan tergugu memeluk tubuhnya…. Tubuhnya ikut lemas. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa.        

Tidak ada komentar: